Postingan

Api dimataku

Lihat salju itu, ada ditempat dingin dan terjaga. Dinginnya salju saja bisa meleleh tiba-tiba. Bola salju sebagai sumber bahagia, malah jadi perang panas yang meledak tiba-tiba. Apa sulitnya mengontrol salju agar tetap dingin dan membahagiakan? apakah salju serakah ingin menjadi cair agar bisa menenggelamkan? Sebenarnya apa mau sang api dan udara dingin ini? Tidakkah tidak beradab salju marah pada ranting karena membeku? semua tidaklah selalu sesuai yang kau inginkan salju, belajarlah menerima itu, bukan malah membakar, menjadi leleh dan pada akhirnya kau hanya bisa mencair, berair.  Janjimu tinggalah janji, kamu tidak berubah sama sekali, omong kosong segala janji, tumbuhmu tidaklah berarti emosimu ikut menjadi dewasa. berhentilah menyalakan api, berhentilah tersunut api. Tak bisakah kau menjadi salju yang dingin dan ramah pada kebahagiaan? - 20.01, salju yang entah kenapa mudah tersunut api

Why we not adopted local wisdom technique for food security?

Indonesia adalah negeri dengan kearifan local yang unik, Indonesia yang lekat dengan negara agraris telah diwariskan oleh nenek moyang. Salah satu kearifan local yang dipertahankan hingga hari ini adalah ketahanan pangan yang dimiliki kampung adat atau bila ditanah sunda disebut kasepuhan. Di antara provinsi jawa barat dan banten terdapat rumpun kasepuhan banten kidul yang terdiri dari kasepuhan sinar resmi, cipta gelar dan cipta mulya. Salah satu kearifan lokal secara turun temurun adalah cara menanam bercocok tanam, yaitu dengan menanam padi satu kali dalam setahun dan menanam secara serempak, memberikan jarak apabila ada perbedaan komoditas ladang perkebunan atau perbedaan waktu tanam perkebunan. Ini dimaksudkan agar meminimalisir hama yang datang. Masyarakat adat-pun melakukan sistem rotasi pada ladangnya, sehingga tidak merusak unsur hara tanah. kemudian setiap keluarga memiliki tempat penyimpanan padi bernama leuit, dan dilarang menjual padi. Semua orang bertanggung jawab atas ke

Betapa beruntungnya aku

Tulisan ini dibuat selepas mengobrol dengan bibi tentang sebuah masa lalu, yang ternyata tidak berubah banyak saat aku mengalaminya, ya meskipun untuk adik kecilku sepertinya tidak mengalaminya. Wajah desa, aku yang baru datang, dan rutinitas teman-temanku. Singkat cerita aku pindah rumah ke sebuah desa, rumah nenekku. Saat itu aku naik ke kelas empat, dan untuk pertama kalinya teman sekolahku sebanyak itu, sampai ada yang duduk bertiga satu bangku. Bisa dibilang aku adalah anak yang manja, aku baru sadar saat disana. Sebelumnya aku pikir aku anak yang mandiri. Haha. Karena aku sebagaimana anak SD yang bukan di desa, segala sudah disiapkan, bangun dibangunkan, makan tinggal makan, pekerjaan rumah dikerjakan bila mau saja, porsi nonton tv dan main game lebih banyak dibandingkan membantu dirumah. Pekerjaanku saat itu hanyalah membersihkan rumah, itupun hanya hari libur, menyetrika baju sekolah milikku dan adik-adikku itupun bila orang tuaku tidak sempat, cuci piring bekas makan sendiri,

Gombal

Mungkin tulisan ini akan hanya sekedar curhat aja, buatku ini akan menjadi pengingatku karena aku manusia pelupa akut. Mungkin kisah ini diawali dari aku yang ikut berkumpul dalam segelintir obrolan tentang sebuah resah, dan dimana tempat resah itu layaknya dituangkan. Namun, saat itu semester ganjil bila membayangkannya rasanya aku tidak akan sanggup mengulang lagi, dan kuakui banyak hal baru yang kudapatkan.  Singkat cerita, karena padatnya itulah aku melewatkan dua momen pengantarnya, meskipun untungnya aku tidak pernah menyesal atas pilihan yang kuambil. Aku hanya bertanya pada teman yang mengikuti dua momen itu, akupun juga manusia realistis yang memperhitungkan probabilitas, maka aku berani untuk mendaftar. Rasanya saat itu aku menggebu-gebu, dan ternyata tidaklah mudah. Dunia itu terlampau baru, aku yang sangat teknis merasa kewalahan. Terlalu banyak kejutan. Namun, hangatnya ke tujuh manusia ini, benar-benar membuatku bertahan. Kecanggungan ada dipertemuan pertama, dan setelah

Setelah Menonton Negeri Dibawah Kabut

Film dokumenter ini mengisahkan tentang dua keluarga yang bertani sesuai dengan penanggalan jawa, namun cuaca ternyata tidak lagi sama. Gagal panen menjadi ancaman, dan harga jual tidak sebanding. Disisi lain, memperlihatkan permasalahan hidup keluarga. Tentang biaya pendidikan, menu makanan, dan kebiasan orang-orang desa.  Setelah menonton ini aku rasa Isinya sangat kompleks, potret wajah indonesia dan pengingat untuk diri sendiri. Sedih dan bangga, sekaligus hangat dalamnya. 2011, saat itu potret setahun kemudian hampir sama disekitarku. Tidak semua orang seberuntung aku yang bisa melanjutkan sekolah, sekolah adalah sesuatu yang mahal rasanya. Saat itu ingat sekali, ada yang menikah, ada yang bekerja membantu diladang. Karena meskipun sekolah tanpa spp, tapi uang seragam, uang masuk tetap jadi masalah ditengah kami. Dan tahun-tahun setelahnya sekolah semakin mudah, bahkan seragampun tak usah beli, tapi degradasinya mulai terasa. Tak banyak yang memilih sekolah, lebih banyak yang beke

Vol 1 : Idealisme

Sebelumnya, terima kasih atas waktu luang yang diberikan karena pandemi ini. Aku suka dirumah, tapi aku tidak suka informasi yang terus membanjiri handphone dan televisiku. Bukan tidak suka, mungkin lebih ke risau. Semakin hari negeri kita ini semakin tidak baik-baik saja. Sedih rasanya, padahal Indonesia itu indah namun sudah beberapa tahun ini terus dikabuti akibat kecongkakan manusia-manusianya. Oligarki terus menggigit, sisi kapitalisnya semakin terasa, Rakyat semakin dibuat tidak percaya. Ah, apakah ini hasil dari penjajahan yang terjadi saat sebelum merdeka lalu dilanjutkan saat kemerdekaan? Pengaruh yang sudah menadi. Rakyat dibuat tidak percaya negara, negara dibuat untuk mengkhianati rakyat. Sisi demokratisnya semakin dikaburkan.  Kita lihat kembali, pemerintah berbicara tanpa empati, peraturan-peraturan yang jelas-jelas membuat para pakar, para ilmuwan bahkan sekelas mahasiswa saja gusar buru-buru disahkan.  Yang memegang tampuk kekuasaan, yang memegang kendali pemerintahan a

Berproses untuk hidup, berjuang untuk hidup, pada akhirnya : mati.

Lalu lalang, semua berdinamika siang ini. Riuh. Saling acuh dan ada yang acuh tak acuh. Disisi sukacita dan bahagia, arah pandangku kali ini tertuju pada orang-orang yang berpenghidupan dari hari ini. Berjuang untuk nafas kehidupan, berkejaran dengan tuntutan pemenuhan. Banyak yang bertaruh disini, karena bila tidak, tak ada cara lain. Toh untuk kita yang sedari awal tak memiliki apa apa tidak masalah bertaruh, karena bila rugi kita kembali pada apa yang tak apa apa ini.  "Ditengah harumnya aroma sukses, kami hanya bisa melihat bahagianya, mungkin beberapa dari kami berdoa anak-anak kami akan menjadi diantara kalian suatu saat nanti, beberapa dari kami juga ada yang bertanya kapan kami seperti kalian? Kapan kami akan sukses? Kapan kami  merasakan dampak kaula muda yang setiap tahunnya, katanya, tengah membangun bangsa? Namun kami pun sadar betul, bahwa semua juga membangun keluarganya, bangkit dengan usahanya. Karena banyak dari kalian pun pada posisi kami dan kalian salah satu