Setelah Menonton Negeri Dibawah Kabut

Film dokumenter ini mengisahkan tentang dua keluarga yang bertani sesuai dengan penanggalan jawa, namun cuaca ternyata tidak lagi sama. Gagal panen menjadi ancaman, dan harga jual tidak sebanding. Disisi lain, memperlihatkan permasalahan hidup keluarga. Tentang biaya pendidikan, menu makanan, dan kebiasan orang-orang desa. 
Setelah menonton ini aku rasa Isinya sangat kompleks, potret wajah indonesia dan pengingat untuk diri sendiri. Sedih dan bangga, sekaligus hangat dalamnya. 2011, saat itu potret setahun kemudian hampir sama disekitarku. Tidak semua orang seberuntung aku yang bisa melanjutkan sekolah, sekolah adalah sesuatu yang mahal rasanya. Saat itu ingat sekali, ada yang menikah, ada yang bekerja membantu diladang. Karena meskipun sekolah tanpa spp, tapi uang seragam, uang masuk tetap jadi masalah ditengah kami. Dan tahun-tahun setelahnya sekolah semakin mudah, bahkan seragampun tak usah beli, tapi degradasinya mulai terasa. Tak banyak yang memilih sekolah, lebih banyak yang bekerja untuk makan, toh sekolah tak menjamin mudah dimasa depan dan lagi urusan perut ini memang selalu darurat.
Yang sekolahpun semakin banyak yang hanya mengejar ijazah karena kalo tanpa itu upah buruh jadi lebih kecil.
Tapi pergaulan tanpa pendidikan dan bukan dilingkungan yang tepat sedikit banyak merubah pemikiran dan "nakal" dimata masyarakat menjadi sebuah kemakluman. Yah, nakal adalah pelampiasan dari kelelahan hidup yang dijalani.
Pertanyaannya, hingga kapan seperti ini? Ditempatku bertualang semuanya punya janji masa depan yang cemerlang, tapi saat pulang ke rumah justru sebaliknya. Lantas, bukankah sudah tugas kita yang memiliki janji masa depan membangunkan teman-teman kita agar ikut punya janji yang sama?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Vol 1 : Idealisme

Why we not adopted local wisdom technique for food security?