Vol 1 : Idealisme

Sebelumnya, terima kasih atas waktu luang yang diberikan karena pandemi ini. Aku suka dirumah, tapi aku tidak suka informasi yang terus membanjiri handphone dan televisiku. Bukan tidak suka, mungkin lebih ke risau. Semakin hari negeri kita ini semakin tidak baik-baik saja. Sedih rasanya, padahal Indonesia itu indah namun sudah beberapa tahun ini terus dikabuti akibat kecongkakan manusia-manusianya. Oligarki terus menggigit, sisi kapitalisnya semakin terasa, Rakyat semakin dibuat tidak percaya. Ah, apakah ini hasil dari penjajahan yang terjadi saat sebelum merdeka lalu dilanjutkan saat kemerdekaan? Pengaruh yang sudah menadi. Rakyat dibuat tidak percaya negara, negara dibuat untuk mengkhianati rakyat. Sisi demokratisnya semakin dikaburkan. 
Kita lihat kembali, pemerintah berbicara tanpa empati, peraturan-peraturan yang jelas-jelas membuat para pakar, para ilmuwan bahkan sekelas mahasiswa saja gusar buru-buru disahkan.  Yang memegang tampuk kekuasaan, yang memegang kendali pemerintahan adalah generasi tua yang sudah banyak melewati neraka dan surganya dunia, mungkin karena semakin tua lupa kalau dosa mereka akan dilimpahkan ke anak cucu, para generasi muda. Misalnya, perpanjangan izin pengelolaan tambang yang diperpanjang 50 tahun, saat kita tua nanti untuk memegang kendali baru selesai, kita yang membereskan sisa-sisanya. 
Tapi, rakyat juga banyak yang bilang, generasi muda belum tau asam manis nya hidup, generasi muda seringnya cuma bisa kritik (seperti saya, cuma bisa gusar). Tapi, dari kritiklah kita bisa tau masalah bangsa, agar dimasa depan saat memegang kendali tidak lupa (mungkin dulu sang penguasa juga berpikir sama). 
Atau kata-kata lainnya, sekarang anak muda bisa apa sih? Banyak kok, teman-temanku yang berjalan dengan visinya, membuat indonesia bahagia. Meskipun, dampaknya belum besar setidaknya mereka tidak berdiam diri. Karena jalan jihad tidak hanya satu, ada 1000 jalan lebih untuk membantu Indonesia. Ah, dan banyak juga generasi tua yang sudah insyaf menolong Indonesia sekuatnya. Tapi, coba lihat lagi hanya sedikit yang berputar dalam politik, mereka yang baik-baik jarang mau ikut pusing dalam birokrat. Kenapa? Karena stigma politik yang terbangun adalah, kotor, korupsi. Padahal cita-cita mulianya adalah mengabdi pada negara. Kenapa menjadi paradoks? Aku sadar betul juga, ada saja ditubuh politik itu malaikat-malaikat tanpa sayap, yang sayangnya pengaruhnya tidak sebesar setan-setan itu. Kalah suara.
Padahal, dengan kebijakanlah kita dapat menolong lebih banyak orang. Dengan kebijakanlah Indonesia dapat menjadi surga, tapi namanya menuju ke surga sangat sukar dilalui. Banyak saja, setan-setan yang menghalangi. 
Kembali lagi ke generasi muda, semoga yang sekarang muda saat tua tidak berubah menjadi bebal, tidak hilang idealismenya. Idealis harus terus dipupuk, agar saat realisnya tetap luar biasa.
Karena, bila bukan hari ini untuk memulai begitu, hingga kapan rumah kita akan terus sesak? Kita harus kembali mengokohkan rumah ini, mulai memperbaikinya, agar nyaman, aman dan sehat tentunya. Aku rasa, mungkin setiap harinya harapan-harapan, sisi idealisme kita semakin berbenturan dengan realitas. Tapi kita tidak boleh menyerah, tidak boleh membiarkan realitas itu menelan idealisme kita. Kita harus buktikan bahwa idealisme kita dapat terus berdikari sampai kita mampu menjadi pengendali. Ingat, agar rumah ini indah kembali, didalam maupun diluar. 
Terima kasih sudah membaca coretan gusarku, ingatkan aku kalau ada yang kurang tepat dalam pengambilan diksi atau penyampaian maksudnya. Oh iya, aku dan teman-temanku sedang membangun komunitas pemberdayaan perempuan desa, boleh di cek di @kembangdesa_ind.
Danke.

Semoga tulisan ini bisa menjadi pengingat buatku disaat aku lupa, disaat aku mulai menyerah dengan yang namanya cita-cita

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Setelah Menonton Negeri Dibawah Kabut

Why we not adopted local wisdom technique for food security?