Betapa beruntungnya aku

Tulisan ini dibuat selepas mengobrol dengan bibi tentang sebuah masa lalu, yang ternyata tidak berubah banyak saat aku mengalaminya, ya meskipun untuk adik kecilku sepertinya tidak mengalaminya.

Wajah desa, aku yang baru datang, dan rutinitas teman-temanku.

Singkat cerita aku pindah rumah ke sebuah desa, rumah nenekku. Saat itu aku naik ke kelas empat, dan untuk pertama kalinya teman sekolahku sebanyak itu, sampai ada yang duduk bertiga satu bangku.

Bisa dibilang aku adalah anak yang manja, aku baru sadar saat disana. Sebelumnya aku pikir aku anak yang mandiri. Haha. Karena aku sebagaimana anak SD yang bukan di desa, segala sudah disiapkan, bangun dibangunkan, makan tinggal makan, pekerjaan rumah dikerjakan bila mau saja, porsi nonton tv dan main game lebih banyak dibandingkan membantu dirumah.

Pekerjaanku saat itu hanyalah membersihkan rumah, itupun hanya hari libur, menyetrika baju sekolah milikku dan adik-adikku itupun bila orang tuaku tidak sempat, cuci piring bekas makan sendiri, cuci sepatu milik sendiri, sesekali menyiram tanaman bila diminta.

Ternyata, mungkin pindah ke desa adalah keputusan paling tepat untuk pertumbuhanku, sangat membuka perspektif baru.

Untuk pertama kalinya aku pergi mengaji selepas subuh (kadang teman-temanku datang sebelum subuh, aku gak tau mereka solat dulu apa enggak xD ), lalu setengah 6 pulang ke rumah. Aku pergi mandi dan sarapan yang sangat lama (aku punya masalah makan, dimana lama banget :( dan gak boleh berangkat sekolah kalau belum abis, alhasil aku sering telat).
Disisi lain, teman-temanku pergi ke sumur itu sebutan kami untuk kamar mandi umum yang tidak ada atapnya. Teman-temanku mencuci pakaian, dan bukan hanya miliknya namun juga milik keluarganya. Lalu, sarapan seadanya (lebih banyak yang tidak) dan bisa pergi kesekolah lebih pagi dari diriku. 
Disore hari selepas main, ada juga ibu-ibu yang mencuci baju, dan itu sangat menyenangkan aku sering ikut nonton, anak-anak dan bapak-bapak mengambil air di ember untuk persediaan memasak dan dimalam hari (kala itu wc belum ada banyak ditiap rumah). 

Saat malam hari aku mengaji dihadapan mamah, dan seringnya aku menangis karena saking seringnya bacaanku diulang. Baru terpikir sekarang setidaknya aku tidak dipukuli dengan rotan bila salah.

Ada temanku yang lain, dimana sepulang sekolah harus mencari rumput untuk ternak atau mencari kayu bakar untuk memasak, kutahu saat aku ikut kakekku ke ladang, cuma sekedar ingin tahu bentuk pohon mentimun bagaimana
Tak ada rasa cemas dan lelah, semua senyum dan bangga setidaknya itu yang kulihat

Banyak hal yang kupelajari dari teman-temanku yang luar biasa, mereka tahu dimana letak mata air dan bisa langsung diminum lalu lompat berenang, pulangnya aku dimarahi karena pulang telat dan tak bilang kalau bermain air.  Mengejar layangan, bermain bola saat sawah selesai panen, dan nongkrong di pos ronda sambil main gitar (nongkrong ini aku gak ikutan, gak boleh kata mama).

Dulu, aku iri haha. Hidup mereka bebas dan bermakna, aku melihat dari sisi menyenangkannya bukan pedihnya. Sekarang, aku bangga pada mereka, selalu berjuang sedari kecil untuk hidup dan menikmatinya. Tanpa gadget, internet, hanya alam yang mengobati.

Meskipun, hari ini rasanya sudah tak ada lagi. Baiknya, semoga, zaman sudah berkembang dan ekonomi bertumbuh.

Kenang ini menjadi pengingatku, bahwa bahagia itu sederhana, bahwa makna hidup adalah saat kita bisa memberi cahaya pada sekitar kita.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Vol 1 : Idealisme

Setelah Menonton Negeri Dibawah Kabut

Why we not adopted local wisdom technique for food security?